Nurgonknet-Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama
beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan
sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya,
pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan
sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah
Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk
kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya
beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan
sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung
M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,”
terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat
syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan
Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh
hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat
tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik,
dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat.
Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden
Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya
bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).
Setelah
menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati
Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan
sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia
tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan
dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya
dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi
sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka
begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik
Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil
pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka:
kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan,
industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah
diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara
mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua
kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena
dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan
bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga
kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja
sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu
sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan
Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai
berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara
Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara,
tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh
pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk
kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan
untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu.
Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah
malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur,
dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur.
Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas
baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya
menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut
pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
”Nirdawat, cobalah
kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan
di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon
jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita
itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan
cita-cita mulia.”
”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata
Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah
membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding.
Bagi
mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama
sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang
namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah,
akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol,
lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh
nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya
itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama
negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah
beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul
dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol
Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal
negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di
negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak
mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu
sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya
adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga
disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral
kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir,
dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik
karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan
demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi
syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa
undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti
dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang
dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka
dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan
tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama
presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah
presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada
batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya
bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara
republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak
perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik
Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya
dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama
sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor
ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat
Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan
semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas,
siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan
seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan
sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan
adalah anak presiden negara republik demokratik ini.
Demikianlah,
maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul,
sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum
alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul,
dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya
Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara
yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan
presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang
memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden
Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa
dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan
Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main
perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal
batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah
Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang
Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan
menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit
demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang
dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi,
Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau
perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung,
berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal
pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan
kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa
pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi
komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah
sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando,
sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan
radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara
diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera
berwajahkan Nirdawat.
”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat,
sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut,
lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya
keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu
nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi,
yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua,
bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu
sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan
butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode,
masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang
lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu
nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan
pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke
dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama
orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik
Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam
sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika
Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi
penjelasan kepada wartawan.
”Sebagaimana kita ketahui bersama,
semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti
memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat,
perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas
menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah
sering saya katakan.”
”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak.
Mereka
ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari
mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka
memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan,
dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah,
di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara
makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian
banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden
Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.
Namun
sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik
Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan
pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan
resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji
keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan
kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden
Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara
yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang
tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan
Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat
terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati
mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin,
dan tetap dihormati.
Cerpen
Budi Darma